Surat Terbuka untuk Wanita yang Kupanggil Ibu

Okin

Halo Ma,
Apa kabar
Ah, rasanya ganjil sekali melontarkan itu. Kita satu rumah, namun jarang kutanyakan kabarmu. Anak macam apa aku ini. Makanan yang kau sediakan di atas meja tak lantas membuatku peduli kabarmu saban hari. Maaf ya, Ma
Ma
Mungkin kita jarang berbicara. Saat membuka mulut pun, hanya adu argumen yang ada. Rasanya susah sekali menahan diri. Apapun yang ada di kepala, aku lontarkan semua. Begitu terucapkan, aku hanya bisa menyesal.
Mama mungkin sudah biasa. Menghadapi ego dan kesoktahuan anaknya. Dari dulu, pikirmu. Tidak apa-apa. Engkau tersenyum, dan tersenyum saja
Mamaku yang cantik
Apa aku boleh bertanya? Bagaimana bentukku saat aku keluar dari rahimmu? Aku penasaran, Ma. Hanya bisa kubayangkan sakitnya. Dari situ pikiranku melanglang: ketika 9 bulan membawaku, hal-hal ganjil apa saja yang kulakukan terhadapmu? Bagaimana perasaanmu ketika tahu rasa sakitmu sebagai ibu tak hanya kau derita saat melahirkan saja? Dari situ aku bisa mengerti, betapa sabar dirimu selama ini
Tapi harus kuakui. Kadang memang aku heran pada sikapmu. Mama pernah marah-marah ketika aku main ke rumah teman sampai jam 10 malam. Mama sibuk meneleponku untuk pulang, padahal aku sudah bilang berkali-kali bahwa aku aman
Aku tahu Mama takut terjadi apa-apa denganku di jalan. Tapi tenanglah, Ma. Aku pasti bisa menjaga diri. Bukankah Mama sendiri yang mengajarkan aku untuk berani? Mungkin memang sulit Mama percayai, tapi aku sekarang sudah besar. Sudah tahu bagaimana melindungi diriku sendiri di jalan. Mama ingat pernah menasihati supaya aku pandai berteman? Nah, kini aku punya teman-teman yang bisa kuandalkan ketika aku pulang terlalu malam
Ma, sebenarnya ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya langsung. Aku takut melihatmu menangis. Aku tidak tahan melihat air matamu keluar. Apalagi ketika aku harus pergi ke tempat yang jauh dari rumah.
Saat aku hendak berkelana sementara, Mama membuktikan perhatian dengan mempersiapkan barang bawaan untukku. Sayangnya, terkadang aku sendiri bingung barang-barang itu harus aku apakan
Ini mama siapin selimut. Bawa ya
Aduh, ntar beli aja di sana. Berat tauk ma
Aku masih ingat itu. Aku menolak barang-barang yang sudah kau siapkan untukku. Hanya ketika mau berangkat, aku mengangkutnya ke bagasi. Dengan berat hati, dan separuh mencak-mencak tak mengerti
Namun saat jauh, aku rindu padamu. Ah…Untunglah ada barang-barang ini. Kupeluk saja selimut yang Mama siapkan. Aku tidak jadi kedinginan
Bolehkah aku bertanya tentang impianmu saat muda dulu? Ketika umur 5, 10, atau seumurku, cita-cita apa yang sebenarnya Mama gantungkan? Dokterkah, layaknya anak-anak pada umumnya? Atau malah Mama punya cita-cita yang lebih unik, seperti fotografer dan penulis buku?
Maaf ya Ma, gara-gara aku, Mama harus berhenti mengejar impian masa kecil Mama. Karena keberadaanku, Mama harus rela mengambil apapun kesempatan berkarya yang ada, dan bekerja 2 kali lebih keras dari seharusnya
Ya
Aku melihatmu sebagai seorang pekerja keras. Bahkan tugas-tugas rumahan sebenarnya menyedot banyak tenaga dan waktu luang. Pagi-pagi sekali, Mama harus bangun untuk memasak sarapan. Selanjutnya, Mama harus menyiapkan peralatan sekolahku. Mama harus mengantarku ke sekolah, berbelanja agar di rumah ada yang bisa dimakan
Kadang, kalau aku sedang rajin aku akan berusaha membantumu semampuku. Tapi Mama pun tidak selalu memperbolehkanku membantu. “Sudah belajar, belum?” tanyamu
Iya, Mama banyak bertanya. Pertanyaan Mama pun sebenarnya selalu sama: “Sudah makan belum?”, “Sudah sholat?” Kalau aku menjawab “belum”, nada bicaramu langsung berubah dan sifat cerewetmu mulai keluar. “Ah, Mama ngoceh terus! Kalau belum sempat gimana dong, Ma?” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku. Pusing rasanya mendengar ocehan Mama. Mama tidak tahu ‘kan, saat Mama menelepon aku sengaja menjauhkan ponselku dari telinga karena bosan mendengar ocehan Mama? Maaf ya, Ma
Di saat aku jauh dari rumah, banyak hal yang aku lakukan tanpa sepengetahuan Mama. Ada beberapa hal yang kutahu tak boleh aku langgar, namun tetap aku lakukan. Harus kuakui, ketika melakukannya, aku terhibur dan sedikit bangga
Aku jahat ya, Ma? Aku anak pembohong. Mama masih mau menyayangi anak pembohong sepertiku
Tahukah kalau aku sangat takut untuk memperkenalkan calon menantumu? Aku takut Mama tidak setuju dengan pilihan hidupku. Takut Mama kecewa jika nantinya aku gagal dalam pernikahanku. Tidak ada rasanya yang lebih mengintimidasi dari ucapan “Ma, kenalin: ini calon menantu Mama
Senyummu membuyarkan kegelisahanku.
Kamu senang sama dia? Sudah yakin? Yang penting itu kebahagiaanmu sendiri
Ma, wajahmu mulai menua. Mulai ada keriput disana, membuatku sadar ragamu tidak sekuat dulu. Penyakit mulai mengerogoti tubuhmu. Aku pun pernah harus melihatmu terbaring di atas tempat tidur. Tapi kau malah tetap tersenyum dan menanyakan apa aku sudah makan
Ma, tenang! Aku sudah makan,,,,

ceritanya belum selesai... :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL KEGIATAN BAKTI SOSIAL PEMERIKSAAN KESEHATAN, PENGOBATAN DAN SUNATAN MASSAL GRATIS

As-Shof Muba